Kamis, 22 Agustus 2013

(NOT) A LOVE STORY

Part 1: Jessica

                Kangen. Kangen sama kita. Kangen sama obrolan tengah malam kita. Kangen sama hari-hari kita. Kangen sama becandaan kita. Kangen sama rempongnya permainan kita. Lo tau, lo pasti inget kan permainan kita? Dimana kita jadi “wingman/wingwoman” satu dengan yang lainnya dengan berbagai trik, seperti trik dimana lo nyenggol gue saat pengen gue ‘tabrakan’ sama cowok seperti di FTV, begitupun sebaliknya. Atau trik dimana lo dan gue dulu-duluan jalan sama ‘target’ godaan kita, hanya untuk mencari  5 detik perhatiannya. Trik yang bodoh dan konyol, yang sebenernya kalo dipikir-pikir,  gak akan pernah dipakai sama player professional, hanya dipakai oleh ‘pemain’ amatir, seperti kita.

                Gue juga kangen sama gengsi-gengsiannya kita, seolah-olah kita gak peduli satu dengan yang lainnya tapi sebenarnya peduli. Seolah-olah saling gak ngebutuhin tapi sebenarnya butuh. Seolah-olah independen namun sebenarnya mitra. Seolah-olah menyepelekan namun sebenarnya saling mendahulukan kepentingan satu dengan yang lainnya. Seolah-olah menghina dan merendahkan, namun sebenarnya mendukung dan saling menjaga. Kita membawa gengsi itu kemanapun kita pergi sebagai perangkat, kalau-kalau ternyata hari itu adalah hari yang bahagia, dimana kita terlalu banyak bercanda dan tertawa, untuk menjaga diri kita sendiri agar tidak jatuh ke dalam lubang yang kita berdua tak inginkan. Karena gue udah dimiliki dan lo takut jatuh hati.

                Rasanya baru kemarin gue kenalan sama lo, walau sebenarnya harusnya hari ini genap 3 tahun kita bersahabat. Ya, gue inget. Karena di hari ini juga, kampus kita tercinta mengadakan seminar orientasi mahasiswa baru tahunannya, yang seperti kita selalu bilang, always right on schedule.  Gue masih inget pertama kalinya gue ngeliat lo, cowok sok cakep, yang mendobrak pintu auditorium kampus ditengah pidato rektor. Dengan semua mata tertuju pada lo, lo berjalan santai dan tanpa beban untuk mencari bangku kosong terdekat, yang kebetulan ada disebelah gue. Pidato rektor yang begitu inspiratif menjadi setengah rusak dengan hadir  lo.

Masih gue inget percakapan awal kita:

“Eh, lo dapet snack darimana? Bagi dong, gue belum makan dari pagi nih, tadi siang telat bangun!”

“Yeee, emang urusan gue! Dari panitia, lo minta aja sana kalo berani. Udah telat, megelin lagi.”

“Apaan lagi tuh megelin? Cantik-cantik judes, dah gitu pelit lagi. Lo bukan tipe gue. ”

“Apaan sih. Sok hot shot banget sih lo.”

“Udah, bagi sini ya satu. Kan tadi udah gue puji cantik.”

“Yeee emang gue minta lo puji.”

“Btw, nama gue Muel.”

“Gak nanya.”

                Dengan sikap lo yang begitu berantakan dan menyebalkan sepanjang seminar itu berlangsung, bisa dibayangkan betapa bahagianya gue saat seminar itu selesai. Berjalan dan menunggu bis di depan kampus terasa bebas dan menyenangkan, karena ga ada cowok yang memperolok dan mengomentari setiap perkataan dan gaya pembicara. Tapi sepertinya, kemujuran gue habis saat gue naik ke dalam bis tersebut, karena gak lama setelah gue duduk, lo naik ke dalam bis yang sama, dan tebaklah duduk dimana! Ya, di sebelah gue!

“Eh, lo lagi!”

“Iya, dan lo lagi.”

“Mba, jangan galak kenapa sih? Cantik lo ilang kalo lo judes!”

“Apaan sih lo.”

“Lagi bad day lo ya?”

“Iya. Abis ketemu lo sih.”

“Haha. Lucu lo. Eh btw, lo kelas berapa?”

“Lo?”

“Gue kelas…. Bentar, gue check….Aha! Kelas 104! Lo kelas berapa?”

JEDUK! Gue menghantam diri gue ke kaca bis yang kotor dengan keras. Please let this be a bad dream, pikir gue.

“Eh, eh, lo kenapa?”

“ Gapapa. Gue juga kelas 104.”

“Wah samaan dong kita!! Rumah lo dimana?”

“Ciputat!”

“Wah samaan lagi! Bisa pulang bareng kita!”

JEDUK! Gue menghantam diri gue ke kaca bis sekali lagi. This is a nightmare!

                Gue juga inget hari pertama kuliah, esok harinya. Gue mengingat masuk ke dalam kelas 15 menit lebih awal, dan mencari lo, tapi lo belum datang. Gue mengingat berkenalan dengan teman-teman sekelas dan tertawa sopan, karena gue gak fokus mendengar perkenalan mereka. Gue mencari lo. Lo datang 30 menit setelah mata kuliah berlangsung, menghentikan penjelasan dosen mengenai algoritma, dengan lagi-lagi mendobrak pintu kelas dengan tidak sopan. Lo gak duduk di sebelah gue kali ini, lo duduk jauh, di belakang, mengasingkan diri, menjauhi orang. Dengan sikap lo yang dingin dan tertutup, lo sukses membuat gue penasaran sama lo. Heck, lo membuat semua cewek di kelas penasaran sama lo! Dasar playboy!

Lo pasti inget kejadian saat jam kosong di hari itu. Kejadian super norak di kelas yang menjadi ice-breaker pertemanan kelas. Saat itu, ‘kepala suku’ , Ridwan, mengumumkan bahwa dia dan beberapa teman-teman lain ingin ke warkop untuk berbagi kopi dan rokok.

“Siapa lagi yang mau ikutan?”, Ridwan bertanya.

“Eh, gue boleh ikutan ga? Mau minum kopi nih, gue belum ngopi dari pagi.” , gue menyahut.

“Bolehlah, Jess! Kan tadi gue ngajak. Gak ada yang lain nih? Ayo yuk ke bawah!” , Ridwan berkata.

“Eh! Eh! Gue ikut juga!” , tiba-tiba lo berkata sambil berdiri.

“Eh cieeee, Muel ikut! Tadi sebelum Jessica ikut, lo ga mau ikut! Kenapa Muel? Cieee”, the class clown, Adit, memanasi situasi.

“Apaan sih lo, gue belum ngerokok dari pagi tau!”, lo membela diri.

Untuk pertama kalinya, gue menerima pelototan cewek-cewek, karena lo.

Lo juga pasti inget dong percakapan kecil kita di warkop, yang mengundang banyak rumor tentang kita juga. Ketika kopi udah dateng dan lo menengok kearah gue dan berkata, “Jadi pulang bareng?”

Seolah-olah kita sudah kenal lama.

“Lho? Emang janjian?”, gue tanya balik, sok kasual.

“Ya kan kemarin di jalan gue bilang kita bisa pulang bareng…”, lo jawab.

“Jessica! Muel! Kalian udah kenal lama ya?”, Ridwan bertanya, memancing jawaban.

“Gak, baru kemarin.”, lo menjawab tegas, menutup kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.

 Setelah pindah tempat duduk, jauh dari lo, dan bercanda dengan cowok-cowok “normal” , gue kembali ke kelas dengan suatu perubahan, satu persahabatan baru dengan 8 cowok, namun bukan dengan lo.

“Nanti pulang bareng. Jangan naik bis. Gue udah bawa mobil kok.”, bisik lo ke gue tepat sebelum kita memasuki ruangan kelas.

Langkah gue terhenti karena kaget. Tapi lo terus berjalan, seolah tidak melakukan hal apa-apa, dan kembali ke kursi lo di belakang, menyendiri sekali lagi. Gue duduk di tempat gue semula, bersama cewek-cewek yang tidak seramah pagi. Hari itu berlanjut sunyi. Seolah-olah normal. Lo inget kan masa  itu?

               Setelah dosen terakhir pada hari pertama itu keluar, lo langsung berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa pamit ke teman-teman yang lainnya. Sempat ada rasa sebel yang menghampiri gue, karena lo sama sekali gak memberikan isyarat maupun tanda-tanda mengajak pulang bareng. Tapi rasa itu hilang sejenak, lalu bertambah, dengan lo yang tiba-tiba menengok ke dalem kelas dan berkata lantang, “Eh Jes. Buruan! Lama banget masukin binder ke tas doang!”

Gue mendapat pelototan masssal kedua di hari itu.

                Masihkah lo ingat percakapan kita di mobil hari itu? Hari itu macet sekali karena ada demo buruh, tapi lo sama sekali gak menunjukkan muka capek maupun bosan. Gue terpukau oleh music playlist lo di mobil itu, yang sangat sama dengan playlist gue, dengan banyak lagu yang gue hafal luar kepala. Kita gak banyak berbicara, hingga pada lampu merah yang ke 2, tepat 45 menit setelah kita keluar dari kampus.

“Jadi, nama lo ternyata Jessica.”, lo berusaha memulai percakapan.

“Iya, emang lo kira siapa?”, gue tanya balik.

“Nama cakep, orang cantik, kenapa bisa judes gitu ya..”

“Dih! Mau lo apa sih?”

“Santai mba, gue cuman penasaran. Biasanya, orang judes tuh ada alasannya. Gue kira nama lo jelek, makanya lo judes.”

“Apaan sih lo.”

“Eh beneran! Gue kira nama lo Iyem, Ipeh, Suharti, apa Inem.. Sebenernya gue udah tebak nama lo depannya ‘J’, tapi bukan ‘Jessica’ tebakan gue..”

“Jadi apa? Apa tebakan lo?”

“Junti! Sebelas dua belas sama kembaran lo, si Kunti! HAHAHAAHAAHA!!”

“Ah sialan lo!”, gue menjawab setengah tersenyum.

Lo berhasil membuat gue tersenyum hari itu.

“Eh Muel, sorry. Boleh lewat Fatmawati aja gak ya? Biar gue turun di Cilandak aja. Gue ke pejaten 
soalnya.”

“Lho, maksudnya?”

“Hari ini hari Rabu, jatahnya bokap gue.”

“Ehm, oh. Oke. Gue anter aja sampe rumahnya. Gak gentleman banget gue nurunin cewek tengah jalan.”

Gue terdiam, memberikan lo kesempatan untuk bertanya dan wonder alone.  Memberikan jeda untuk lo bertanya kenapa ada jatah untuk bokap gue, dan kenapa orang tua gue berpisah. Memberikan lo kesempatan untuk berpikir sendiri dan berasumsi. You didn’t bother to take that chance, though..

“Jes, lo pernah denger lagu Bon Jovi gak?”

“Aih, gue gak suka rock.”

“Bon Jovi gak terlalu rock lagi, dia juga banyak mellow dan slow rocknya! Nih nih ada lagi yang gue suka 
banget! Lo pasti suka deh!”

“Mana? Mana?”

                Just like that, kita menutup topik pembicaraan dan memulainya kembali. Semudah itu kita berpindah dari hampir membicarakan keadaan rumah gue, ke music genre.
Perjalanan sampai di rumah bokap gue membutuhkan 6 jam 45 menit, tapi gue tau bahwa perjalanan yang macet dan melelahkan itu gak terasa buat kita. Di dalam mobil di hari itu kita tertawa, bertukar lagu untuk didengar, dan bernyanyi bersama. Tanpa disadari, hanya butuh 6 jam 45 menit buat kita untuk memulai suatu persahabatan.

                Keesokan paginya, gue telat sampai kampus karena macet. Lucky me, gue hanya telat 15 menit, dan dosen pertama belum masuk. Namun, semua kursi bagian depan di kelas sudah terisi, jadi mau ga mau gue harus duduk di belakang, ya. Tepat di sebelah lo! Inget kan lo masa itu? Saat gue duduk di sebelah lo dan lo tersenyum hampir sinis dan meledek.

“Ngapain lo duduk sini? Mau banget sebelahan sama gue.”

“Apaan sih lo, liat gak kursi depan keisi semua? Sisa cuman di barisan sini doang tau!”

“Barisan kan, masih ada 4 kursi yang bisa lo pilih. Tapi kenapa lo duduk di sebelah gue?”

“Apaan sih lo! Oke gue pindah!”, gue berkata sambil berdiri.

Tapi inget kan lo apa yang lo lakukan? Lo menahan tas gue.

“Yaelah jeng, gue bercanda… Jangan marah kenapa sih. Sensian banget.”

“Udah deh ah. Capek. Gue mau duduk di pojok sebelah sana aja!”

“Ih, ga usah gitu kenapa sih.”, lo berkata sambil menarik tas gue dan membuat gue duduk di bangku sebelah 
lo lagi. Lo ga menyadari bahwa semua mata di kelas sedang menatap percakapan dramatis kita. “Gue 
beneran cuman bercanda. Maaf kalo gue bikin lo tersinggung ya.”

Gue duduk untuk menghindari drama ini lebih lanjut.

“Senyum dong, Jes. Cepet tua lo kalo bête mulu.”

“Apaan sih lo.”

“Senyum! Biar cantik lagi kaya tadi pas masuk.”

Gue memberanikan diri melihat ke depan, tidak lagi menunduk malu.

Taukah lo bahwa gue menerima pelototan missal ketiga pagi hari itu?

                Sepanjang kelas di hari itu, gue mendapat banyak bantuan dari lo. Dengan kemampuan lo menyerap semua ajaran dosen dengan cepat, gue seolah mendapat guru privat di kelas yang kondusif itu. Saat gue gak mengerti apa yang dosen jelaskan, lo jelaskan ulang. Yang lebih mengejutkan lagi, lo bisa membuat hal yang seribet kalkulus/bahasa sintaks terdengar dan terlihat mudah di mata gue. Dengan bantuan lo, gue mendapatkan lebih banyak ilmu dari yang seharusnya gue dapatkan.

“Nanti pulang bareng lagi gak?”, lo bertanya ditengah-tengah mata kuliah Matematika Dasar.

“Hm, gue di jemput hari ini.”, gue menjawab.

“Dijemput siapa? Bokap? Nyokap? Abang?”

“Gue.. Gue dijemput cowok gue.”

“Oh, cowok lo. Dia jemput kesini? Naik apa?”

“Iya. Naik motor. Kenapa emg?”

“Kenalin dong!”

“Buat apa?”

“Ya kan kita teman. Boleh kali kenalin pacar ke temen.”

“Oh. Okay.”

“Okay.”

                Sadarkah lo bahwa lo berbeda setelah percakapan waktu itu? Lo menjadi sedikit lebih tertutup, lebih guarded, lebih dingin. It was a different kind of vibe for us, dan gue gak suka. It was awkwardness surrounding us, tapi kita berdua tetap mencoba untuk menjadikan semuanya normal. Hingga tiba saat pulang, lo gak terburu-buru dan berjalan keluar seperti yang lainnya. Lo menunggu gue, dan saat gue selesai membereskan semua peralatan gue, lo mengikuti gue keluar untuk bertemu pacar gue.

Gue masih mengingat ketawa tertahan lo saat melihat Gorby.

“Jadi ini cowoknya Jessica?”, lo berkata sambil berjabat tangan dengan Gorby.

“Iya, lo temen barunya?”, Gorby bertanya, typically suspicious.

“Iya, gue temen barunya!”, lo berkata, entah ramah atau meledek. “Kalian naik motor, ehm muat?”

Gue melotot ke lo yang berusaha untuk gak ketawa lepas.

“Maksudnya?”, Gorby bertanya lagi.

“Gak, gak jadi. Eh, gue duluan ya Jes. Eh iya BTW sini nomor hape lo. Gue belum nyatet tugas yang tadi.”, 
lo menjawab.

Setelah bertukar nomor hape dengan lo, kita berpisah. Gue masih inget alis mata lo yang naik saat Gorby ingin menggandeng tangan gue, dan gue menolak. Ya, gue juga masih inget senyum lo yang mengundang curiga itu. Setelah mobil lo udah ga terlihat, karena Gorby memutuskan untuk lewat jalan tikus, gue merasa lega tapi juga takut, karena gak ada lo yang bisa ngeliatin gue. Setelah gue sampai di rumah, gue menerima SMS dari lo. Lo inget gak SMS pertama lo ke gue?

That was amusing. Got home?
                                                From : Muel

WHAT was amusing? Udah. Mau minta tugas?
                                                Sent to: Muel

Your 500kg bf. What’s the deal?
                                                From: Muel

What deal? He’s not 500kg. 115 maybe.
                                                Sent to: Muel

Hahaha! Sama aja! Come on, the deal.
You blind or what?
                                                From: Muel

Shut up. Lo mau tugasnya apa gak?
                                                Sent to: Muel

Gak. Gue ud nyatet. Blg sm bf lo, mulai skrg
lo pulang bareng gue.
                                                From: Muel

Wait, what?
                                                Sent to: Muel

Blg aja. BTW, bsk gue mau tau dealnya.
                                                From: Muel
Taukah lo bahwa semalam itu gue ga bisa tidur? Terpikir kenapa lo yang baru 2 hari kenal gue tau bahwa gue emang ga tulus sama cowok gue. Bertanya-tanya apakah memang semua orang sadar bahwa gue ke cowok gue hanyalah fake dan hanya sebagai status aja? Berpikir dan berasumsi bahwa, hey, you just had a lucky guess. Semacam lucky guess that nailed. But lucky guess or not, you creeped me out, dude.
Inget ga lo keesokan harinya di kampus? Saat gue masuk ke kelas dan tertegun melihat lo yang udah duduk manis di belakang, sambil bermain HP. Saat Anisa menyapa gue, seperti biasa, lo menengok dan tersenyum lebar.
“Jess! Jess! Sini!”, lo memanggil setengah teriak, sambil menunjuk bangku di sebelah lo.
Taukah lo bahwa lagi-lagi gue menerima pelototan massal karena lo?
Lo inget kan kalimat pertama yang lo ucapin setelah gue duduk di sebelah lo?
“Jangan geer ya. Ada 2 alasan kenapa gue ajak lo duduk disini. Yang pertama, biar gue ada temen. Kedua, biar lo bisa cerita tentang the so-called cowok lo.”
With that, lo tersenyum. Senyum murni pertama yang gue lihat.
“Apa yang lo mau tau tentang cowok gue?”
Seriously, so many damn questions!”, lo menjawab excited.
“Seperti…..?”
Are you blind?
What the hell????”
Our hectic conversations, or should I say, arguments began again…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar