Part 1: Jessica
Kangen. Kangen sama kita. Kangen
sama obrolan tengah malam kita. Kangen sama hari-hari kita. Kangen sama
becandaan kita. Kangen sama rempongnya permainan kita. Lo tau, lo pasti inget
kan permainan kita? Dimana kita jadi “wingman/wingwoman”
satu dengan yang lainnya dengan berbagai trik, seperti trik dimana lo nyenggol
gue saat pengen gue ‘tabrakan’ sama cowok seperti di FTV, begitupun sebaliknya.
Atau trik dimana lo dan gue dulu-duluan jalan sama ‘target’ godaan kita, hanya untuk mencari 5 detik perhatiannya. Trik yang bodoh dan
konyol, yang sebenernya kalo dipikir-pikir,
gak akan pernah dipakai sama player
professional, hanya dipakai oleh ‘pemain’ amatir, seperti kita.
Gue juga kangen sama
gengsi-gengsiannya kita, seolah-olah kita gak peduli satu dengan yang lainnya
tapi sebenarnya peduli. Seolah-olah saling gak ngebutuhin tapi sebenarnya
butuh. Seolah-olah independen namun sebenarnya mitra. Seolah-olah menyepelekan
namun sebenarnya saling mendahulukan kepentingan satu dengan yang lainnya. Seolah-olah
menghina dan merendahkan, namun sebenarnya mendukung dan saling menjaga. Kita
membawa gengsi itu kemanapun kita pergi sebagai perangkat, kalau-kalau ternyata
hari itu adalah hari yang bahagia, dimana kita terlalu banyak bercanda dan
tertawa, untuk menjaga diri kita sendiri agar tidak jatuh ke dalam lubang yang
kita berdua tak inginkan. Karena gue udah dimiliki dan lo takut jatuh hati.
Rasanya baru kemarin gue kenalan
sama lo, walau sebenarnya harusnya hari ini genap 3 tahun kita bersahabat. Ya,
gue inget. Karena di hari ini juga, kampus kita tercinta mengadakan seminar
orientasi mahasiswa baru tahunannya, yang seperti kita selalu bilang, always right on schedule. Gue masih inget pertama kalinya gue ngeliat
lo, cowok sok cakep, yang mendobrak pintu auditorium kampus ditengah pidato
rektor. Dengan semua mata tertuju pada lo, lo berjalan santai dan tanpa beban
untuk mencari bangku kosong terdekat, yang kebetulan ada disebelah gue. Pidato
rektor yang begitu inspiratif menjadi setengah rusak dengan hadir lo.
Masih gue
inget percakapan awal kita:
“Eh, lo
dapet snack darimana? Bagi dong, gue belum makan dari pagi nih, tadi siang
telat bangun!”
“Yeee,
emang urusan gue! Dari panitia, lo minta aja sana kalo berani. Udah telat,
megelin lagi.”
“Apaan lagi
tuh megelin? Cantik-cantik judes, dah gitu pelit lagi. Lo bukan tipe gue. ”
“Apaan sih.
Sok hot shot banget sih lo.”
“Udah, bagi
sini ya satu. Kan tadi udah gue puji cantik.”
“Yeee emang
gue minta lo puji.”
“Btw, nama
gue Muel.”
“Gak
nanya.”
Dengan sikap lo yang begitu
berantakan dan menyebalkan sepanjang seminar itu berlangsung, bisa dibayangkan
betapa bahagianya gue saat seminar itu selesai. Berjalan dan menunggu bis di
depan kampus terasa bebas dan menyenangkan, karena ga ada cowok yang memperolok
dan mengomentari setiap perkataan dan gaya pembicara. Tapi sepertinya,
kemujuran gue habis saat gue naik ke dalam bis tersebut, karena gak lama
setelah gue duduk, lo naik ke dalam bis yang sama, dan tebaklah duduk dimana!
Ya, di sebelah gue!
“Eh, lo
lagi!”
“Iya, dan
lo lagi.”
“Mba,
jangan galak kenapa sih? Cantik lo ilang kalo lo judes!”
“Apaan sih
lo.”
“Lagi bad day lo ya?”
“Iya. Abis
ketemu lo sih.”
“Haha. Lucu
lo. Eh btw, lo kelas berapa?”
“Lo?”
“Gue
kelas…. Bentar, gue check….Aha! Kelas 104! Lo kelas berapa?”
JEDUK! Gue
menghantam diri gue ke kaca bis yang kotor dengan keras. Please let this be a bad dream, pikir gue.
“Eh, eh, lo
kenapa?”
“ Gapapa. Gue
juga kelas 104.”
“Wah samaan
dong kita!! Rumah lo dimana?”
“Ciputat!”
“Wah samaan
lagi! Bisa pulang bareng kita!”
JEDUK! Gue
menghantam diri gue ke kaca bis sekali lagi. This is a nightmare!
Gue juga inget hari pertama
kuliah, esok harinya. Gue mengingat masuk ke dalam kelas 15 menit lebih awal,
dan mencari lo, tapi lo belum datang. Gue mengingat berkenalan dengan teman-teman
sekelas dan tertawa sopan, karena gue gak fokus mendengar perkenalan mereka.
Gue mencari lo. Lo datang 30 menit setelah mata kuliah berlangsung,
menghentikan penjelasan dosen mengenai algoritma, dengan lagi-lagi mendobrak
pintu kelas dengan tidak sopan. Lo gak duduk di sebelah gue kali ini, lo duduk
jauh, di belakang, mengasingkan diri, menjauhi orang. Dengan sikap lo yang
dingin dan tertutup, lo sukses membuat gue penasaran sama lo. Heck, lo membuat semua cewek di kelas
penasaran sama lo! Dasar playboy!
Lo pasti
inget kejadian saat jam kosong di hari itu. Kejadian super norak di kelas yang
menjadi ice-breaker pertemanan kelas.
Saat itu, ‘kepala suku’ , Ridwan, mengumumkan bahwa dia dan beberapa
teman-teman lain ingin ke warkop untuk berbagi kopi dan rokok.
“Siapa lagi
yang mau ikutan?”, Ridwan bertanya.
“Eh, gue
boleh ikutan ga? Mau minum kopi nih, gue belum ngopi dari pagi.” , gue
menyahut.
“Bolehlah,
Jess! Kan tadi gue ngajak. Gak ada yang lain nih? Ayo yuk ke bawah!” , Ridwan
berkata.
“Eh! Eh!
Gue ikut juga!” , tiba-tiba lo berkata sambil berdiri.
“Eh cieeee,
Muel ikut! Tadi sebelum Jessica ikut, lo ga mau ikut! Kenapa Muel? Cieee”, the class clown, Adit, memanasi situasi.
“Apaan sih
lo, gue belum ngerokok dari pagi tau!”, lo membela diri.
Untuk
pertama kalinya, gue menerima pelototan cewek-cewek, karena lo.
Lo juga
pasti inget dong percakapan kecil kita di warkop, yang mengundang banyak rumor
tentang kita juga. Ketika kopi udah dateng dan lo menengok kearah gue dan
berkata, “Jadi pulang bareng?”
Seolah-olah
kita sudah kenal lama.
“Lho? Emang
janjian?”, gue tanya balik, sok kasual.
“Ya kan
kemarin di jalan gue bilang kita bisa pulang bareng…”, lo jawab.
“Jessica!
Muel! Kalian udah kenal lama ya?”, Ridwan bertanya, memancing jawaban.
“Gak, baru
kemarin.”, lo menjawab tegas, menutup kesempatan untuk bertanya lebih lanjut.
Setelah pindah tempat duduk, jauh dari lo, dan
bercanda dengan cowok-cowok “normal” , gue kembali ke kelas dengan suatu
perubahan, satu persahabatan baru dengan 8 cowok, namun bukan dengan lo.
“Nanti
pulang bareng. Jangan naik bis. Gue udah bawa mobil kok.”, bisik lo ke gue
tepat sebelum kita memasuki ruangan kelas.
Langkah gue
terhenti karena kaget. Tapi lo terus berjalan, seolah tidak melakukan hal
apa-apa, dan kembali ke kursi lo di belakang, menyendiri sekali lagi. Gue duduk
di tempat gue semula, bersama cewek-cewek yang tidak seramah pagi. Hari itu
berlanjut sunyi. Seolah-olah normal. Lo inget kan masa itu?
Setelah dosen terakhir pada hari
pertama itu keluar, lo langsung berdiri dan berjalan keluar kelas tanpa pamit
ke teman-teman yang lainnya. Sempat ada rasa sebel yang menghampiri gue, karena
lo sama sekali gak memberikan isyarat maupun tanda-tanda mengajak pulang
bareng. Tapi rasa itu hilang sejenak, lalu bertambah, dengan lo yang tiba-tiba
menengok ke dalem kelas dan berkata lantang, “Eh Jes. Buruan! Lama banget
masukin binder ke tas doang!”
Gue
mendapat pelototan masssal kedua di hari itu.
Masihkah lo ingat percakapan
kita di mobil hari itu? Hari itu macet sekali karena ada demo buruh, tapi lo
sama sekali gak menunjukkan muka capek maupun bosan. Gue terpukau oleh music playlist lo di mobil itu, yang
sangat sama dengan playlist gue,
dengan banyak lagu yang gue hafal luar kepala. Kita gak banyak berbicara,
hingga pada lampu merah yang ke 2, tepat 45 menit setelah kita keluar dari
kampus.
“Jadi, nama
lo ternyata Jessica.”, lo berusaha memulai percakapan.
“Iya, emang
lo kira siapa?”, gue tanya balik.
“Nama
cakep, orang cantik, kenapa bisa judes gitu ya..”
“Dih! Mau
lo apa sih?”
“Santai
mba, gue cuman penasaran. Biasanya, orang judes tuh ada alasannya. Gue kira
nama lo jelek, makanya lo judes.”
“Apaan sih
lo.”
“Eh
beneran! Gue kira nama lo Iyem, Ipeh, Suharti, apa Inem.. Sebenernya gue udah
tebak nama lo depannya ‘J’, tapi bukan ‘Jessica’ tebakan gue..”
“Jadi apa?
Apa tebakan lo?”
“Junti!
Sebelas dua belas sama kembaran lo, si Kunti! HAHAHAAHAAHA!!”
“Ah sialan
lo!”, gue menjawab setengah tersenyum.
Lo berhasil
membuat gue tersenyum hari itu.
“Eh Muel,
sorry. Boleh lewat Fatmawati aja gak ya? Biar gue turun di Cilandak aja. Gue ke
pejaten
soalnya.”
“Lho,
maksudnya?”
“Hari ini
hari Rabu, jatahnya bokap gue.”
“Ehm, oh.
Oke. Gue anter aja sampe rumahnya. Gak gentleman
banget gue nurunin cewek tengah jalan.”
Gue
terdiam, memberikan lo kesempatan untuk bertanya dan wonder alone. Memberikan
jeda untuk lo bertanya kenapa ada jatah untuk bokap gue, dan kenapa orang tua
gue berpisah. Memberikan lo kesempatan untuk berpikir sendiri dan berasumsi. You didn’t bother to take that chance,
though..
“Jes, lo
pernah denger lagu Bon Jovi gak?”
“Aih, gue
gak suka rock.”
“Bon Jovi
gak terlalu rock lagi, dia juga banyak mellow dan slow rocknya! Nih nih ada
lagi yang gue suka
banget! Lo pasti suka deh!”
“Mana?
Mana?”
Just like that, kita menutup topik pembicaraan dan memulainya
kembali. Semudah itu kita berpindah dari hampir membicarakan keadaan rumah gue,
ke music genre.
Perjalanan
sampai di rumah bokap gue membutuhkan 6 jam 45 menit, tapi gue tau bahwa
perjalanan yang macet dan melelahkan itu gak terasa buat kita. Di dalam mobil
di hari itu kita tertawa, bertukar lagu untuk didengar, dan bernyanyi bersama.
Tanpa disadari, hanya butuh 6 jam 45 menit buat kita untuk memulai suatu
persahabatan.
Keesokan paginya, gue telat
sampai kampus karena macet. Lucky me,
gue hanya telat 15 menit, dan dosen pertama belum masuk. Namun, semua kursi
bagian depan di kelas sudah terisi, jadi mau ga mau gue harus duduk di
belakang, ya. Tepat di sebelah lo! Inget kan lo masa itu? Saat gue duduk di
sebelah lo dan lo tersenyum hampir sinis dan meledek.
“Ngapain lo
duduk sini? Mau banget sebelahan sama gue.”
“Apaan sih
lo, liat gak kursi depan keisi semua? Sisa cuman di barisan sini doang tau!”
“Barisan
kan, masih ada 4 kursi yang bisa lo pilih. Tapi kenapa lo duduk di sebelah
gue?”
“Apaan sih
lo! Oke gue pindah!”, gue berkata sambil berdiri.
Tapi inget
kan lo apa yang lo lakukan? Lo menahan tas gue.
“Yaelah
jeng, gue bercanda… Jangan marah kenapa sih. Sensian banget.”
“Udah deh
ah. Capek. Gue mau duduk di pojok sebelah sana aja!”
“Ih, ga
usah gitu kenapa sih.”, lo berkata sambil menarik tas gue dan membuat gue duduk
di bangku sebelah
lo lagi. Lo ga menyadari bahwa semua mata di kelas sedang
menatap percakapan dramatis kita. “Gue
beneran cuman bercanda. Maaf kalo gue
bikin lo tersinggung ya.”
Gue duduk
untuk menghindari drama ini lebih lanjut.
“Senyum
dong, Jes. Cepet tua lo kalo bĂȘte mulu.”
“Apaan sih
lo.”
“Senyum!
Biar cantik lagi kaya tadi pas masuk.”
Gue
memberanikan diri melihat ke depan, tidak lagi menunduk malu.
Taukah lo
bahwa gue menerima pelototan missal ketiga pagi hari itu?
Sepanjang kelas di hari itu, gue
mendapat banyak bantuan dari lo. Dengan kemampuan lo menyerap semua ajaran
dosen dengan cepat, gue seolah mendapat guru privat di kelas yang kondusif itu.
Saat gue gak mengerti apa yang dosen jelaskan, lo jelaskan ulang. Yang lebih
mengejutkan lagi, lo bisa membuat hal yang seribet kalkulus/bahasa sintaks
terdengar dan terlihat mudah di mata gue. Dengan bantuan lo, gue mendapatkan
lebih banyak ilmu dari yang seharusnya gue dapatkan.
“Nanti
pulang bareng lagi gak?”, lo bertanya ditengah-tengah mata kuliah Matematika
Dasar.
“Hm, gue di
jemput hari ini.”, gue menjawab.
“Dijemput
siapa? Bokap? Nyokap? Abang?”
“Gue.. Gue
dijemput cowok gue.”
“Oh, cowok
lo. Dia jemput kesini? Naik apa?”
“Iya. Naik
motor. Kenapa emg?”
“Kenalin
dong!”
“Buat apa?”
“Ya kan
kita teman. Boleh kali kenalin pacar ke temen.”
“Oh. Okay.”
“Okay.”
Sadarkah lo bahwa lo berbeda
setelah percakapan waktu itu? Lo menjadi sedikit lebih tertutup, lebih guarded, lebih dingin. It was a different kind of vibe for us,
dan gue gak suka. It was awkwardness
surrounding us, tapi kita berdua tetap mencoba untuk menjadikan semuanya
normal. Hingga tiba saat pulang, lo gak terburu-buru dan berjalan keluar
seperti yang lainnya. Lo menunggu gue, dan saat gue selesai membereskan semua
peralatan gue, lo mengikuti gue keluar untuk bertemu pacar gue.
Gue masih
mengingat ketawa tertahan lo saat melihat Gorby.
“Jadi ini
cowoknya Jessica?”, lo berkata sambil berjabat tangan dengan Gorby.
“Iya, lo
temen barunya?”, Gorby bertanya, typically
suspicious.
“Iya, gue
temen barunya!”, lo berkata, entah ramah atau meledek. “Kalian naik motor, ehm
muat?”
Gue melotot
ke lo yang berusaha untuk gak ketawa lepas.
“Maksudnya?”,
Gorby bertanya lagi.
“Gak, gak
jadi. Eh, gue duluan ya Jes. Eh iya BTW sini
nomor hape lo. Gue belum nyatet tugas yang tadi.”,
lo menjawab.
Setelah
bertukar nomor hape dengan lo, kita berpisah. Gue masih inget alis mata lo yang
naik saat Gorby ingin menggandeng tangan gue, dan gue menolak. Ya, gue juga
masih inget senyum lo yang mengundang curiga itu. Setelah mobil lo udah ga
terlihat, karena Gorby memutuskan untuk lewat jalan tikus, gue merasa lega tapi
juga takut, karena gak ada lo yang bisa ngeliatin gue. Setelah gue sampai di
rumah, gue menerima SMS dari lo. Lo inget gak SMS pertama lo ke gue?
That was amusing. Got
home?
From
: Muel
WHAT was amusing?
Udah. Mau minta tugas?
Sent
to: Muel
Your 500kg bf. What’s
the deal?
From:
Muel
What deal? He’s not
500kg. 115 maybe.
Sent
to: Muel
Hahaha! Sama aja! Come
on, the deal.
You blind or what?
From:
Muel
Shut up. Lo mau
tugasnya apa gak?
Sent
to: Muel
Gak. Gue ud nyatet.
Blg sm bf lo, mulai skrg
lo pulang bareng gue.
From:
Muel
Wait, what?
Sent
to: Muel
Blg aja. BTW, bsk gue mau tau dealnya.
From:
Muel
Taukah lo bahwa semalam itu gue ga bisa tidur?
Terpikir kenapa lo yang baru 2 hari kenal gue tau bahwa gue emang ga tulus sama
cowok gue. Bertanya-tanya apakah memang semua orang sadar bahwa gue ke cowok
gue hanyalah fake dan hanya sebagai
status aja? Berpikir dan berasumsi bahwa, hey,
you just had a lucky guess. Semacam lucky guess that nailed. But lucky guess
or not, you creeped me out, dude.
Inget ga lo keesokan harinya di kampus? Saat
gue masuk ke kelas dan tertegun melihat lo yang udah duduk manis di belakang,
sambil bermain HP. Saat Anisa menyapa gue, seperti biasa, lo menengok dan
tersenyum lebar.
“Jess! Jess! Sini!”, lo memanggil setengah
teriak, sambil menunjuk bangku di sebelah lo.
Taukah lo bahwa lagi-lagi gue menerima
pelototan massal karena lo?
Lo inget kan kalimat pertama yang lo ucapin
setelah gue duduk di sebelah lo?
“Jangan geer ya. Ada 2 alasan kenapa gue ajak
lo duduk disini. Yang pertama, biar gue ada temen. Kedua, biar lo bisa cerita
tentang the so-called cowok lo.”
With that,
lo tersenyum. Senyum murni pertama yang gue lihat.
“Apa yang lo mau tau tentang cowok gue?”
“Seriously,
so many damn questions!”, lo menjawab excited.
“Seperti…..?”
“Are you
blind?”
“What the
hell????”
Our hectic conversations, or should I say, arguments began again…